Saturday, January 29, 2005

Ketemu Ikrar

Hari ini saya ngerjain temanku Ikrar. Dia temanku di SMU 8 Bandung. Saya jebak dia hujan2an hehehe. Sekarang ini saya lagi nunjukin blog sama Ikrar.

Thursday, January 13, 2005

Karakter di Naruto

Barusan saya ikutan test naruto (klik aja di bagian links "naruto")
Ternyata karakter yang cocok dengan saya adalah (?):

naruto
Which Naruto Character Are You?
Test by naruto - kun.com

Saturday, January 01, 2005

Untuk Aceh (Ralat!!!)

Saya nggak setuju tulisan di bawah (kenapa saya mempost ini ya?)

KOMPAS, Rabu, 29 Desember 2004


Gunung Jangan Pula Meletus

Oleh Emha Ainun Nadjib

KHUSUS untuk bencana Aceh, saya terpaksa menemui
Kiai
Sudrun. Apakah kata mampu mengucapkan
kedahsyatannya?
Apakah sastra mampu menuturkan kedalaman dukanya?
Apakah ilmu sanggup menemukan dan menghitung
nilai-nilai kandungannya?

Wajah Sudrun yang buruk dengan air liur yang selalu
mengalir pelan dari salah satu sudut bibirnya hampir
membuatku marah. Karena tak bisa kubedakan apakah ia
sedang berduka atau tidak. Sebab, barang siapa
tidak berduka oleh ngerinya bencana itu dan oleh
kesengsaraan para korban yang jiwanya luluh lantak
terkeping- keping, akan kubunuh.

"Jakarta jauh lebih pantas mendapat bencana itu
dibanding Aceh!," aku menyerbu.

"Kamu juga tak kalah pantas memperoleh kehancuran,"
Sudrun menyambut dengan kata- kata yang, seperti
biasa, menyakitkan hati.

"Jadi, kenapa Aceh, bukan aku dan Jakarta?"

"Karena kalian berjodoh dengan kebusukan dunia,
sedang
rakyat Aceh dinikahkan dengan surga."

"Orang Aceh-lah yang selama bertahun-tahun terakhir
amat dan paling menderita dibanding kita senegara,
kenapa masih ditenggelamkan ke kubangan kesengsaraan
sedalam itu?"

"Penderitaan adalah setoran termahal dari manusia
kepada Tuhannya sehingga derajat orang Aceh
ditinggikan, sementara kalian ditinggalkan
untuk terus menjalani kerendahan."

"Termasuk Kiai...."

Cuh! Ludahnya melompat menciprati mukaku. Sudah
biasa
begini. Sejak dahulu kala. Kuusap dengan kesabaran.

"Kalau itu hukuman, apa salah mereka? Kalau itu
peringatan, kenapa tidak kepada gerombolan maling
dan
koruptor di Jakarta? Kalau itu ujian, apa Tuhan
masih
kurang kenyang melihat kebingungan dan ketakutan
rakyat Aceh selama ini, di tengah perang politik dan
militer tak berkesudahan?"

Sudrun tertawa terkekeh-kekeh. Tidak kumengerti apa
yang lucu dari kata-kataku. Badannya
terguncang-guncang.

"Kamu mempersoalkan Tuhan? Mempertanyakan tindakan
Tuhan?
Mempersalahkan ketidakadilan Tuhan?" katanya.

Aku menjawab tegas, "Ya."

"Kalau Tuhan diam saja bagaimana?"

"Akan terus kupertanyakan. Dan aku tahu seluruh
bangsa
Indonesia akan
terus mempertanyakan."

"Sampai kapan?"

"Sampai kapan pun!"

"Sampai mati?"

"Ya!"

"Kapan kamu mati?"

"Gila!"

"Kamu yang gila. Kurang waras akalmu. Lebih baik
kamu
mempertanyakan kenapa ilmumu sampai tidak mengetahui
akan ada gempa di Aceh. Kamu bahkan tidak tahu apa
yang akan kamu katakan sendiri lima menit mendatang.
Kamu juga tidak tahu berapa jumlah bulu ketiakmu.
Kamu
pengecut. Untuk apa mempertanyakan tindakan Tuhan.
Kenapa kamu tidak melawanNya. Kenapa kamu
memberontak
secara tegas kepada Tuhan. Kami menyingkir dari
bumiNya, pindah dari alam semestaNya, kemudian kamu
tabuh genderang perang menantangNya!"

""Aku ini, Kiai!" teriakku, "datang kemari, untuk
merundingkan hal-hal yang bisa menghindarkanku dari
tindakan menuduh Tuhan adalah diktator dan
otoriter...."

Sudrun malah melompat- lompat. Yang tertawa sekarang
seluruh tubuhnya.
Bibirnya melebar-lebar ke kiri-kanan mengejekku.

"Kamu jahat," katanya, "karena ingin menghindar dari
kewajiban."

"Kewajiban apa?"

"Kewajiban ilmiah untuk mengakui bahwa Tuhan itu
diktator dan otoriter. Kewajiban untuk mengakuinya,
menemukan logikanya, lalu belajar menerimanya, dan
akhirnya memperoleh kenikmatan mengikhlaskannya.
Tuhan-lah satu-satunya yang ada, yang berhak
bersikap diktator dan otoriter, sebagaimana pelukis
berhak menyayang lukisannya atau merobek-robek dan
mencampakkannya ke tempat sampah.
Tuhan tidak berkewajiban apa- apa karena ia tidak
berutang kepada siapa-siapa, dan keberadaanNya tidak
atas saham dan andil siapa pun.
Tuhan tidak terikat oleh baik buruk karena justru
Dialah yang menciptakan baik buruk. Tuhan tidak
harus
patuh kepada benar atau salah, karena benar dan
salah
yang harus taat kepadaNya. Ainun, Ainun,
apa yang kamu lakukan ini? Sini, sini..."-ia meraih
lengan saya dan menyeret ke tembok-"Kupinjamkan
dinding ini kepadamu...."
Rafid : Dari paragraf di atas terkesan seolah Allah bebas berbuat apa saja, yang baik
maupun yang buruk, padahal Allah bebas dari sifat2 rendah seperti keburukan karena dia Maha sempurna,
Allah tidak akan menzalimi manusia. "Dan Allah tidak pernah menghendaki kezaliman
pada semua alam (QS.3.108)
Apa yang menimpamu berupa kebaikan datangnya dari Allah, dan apa yang menimpamu
berupa keburukan datangnya dari dirimu sendiri (QS.4:79)
Sesungguhnya prinsip dasar agama itu adalah tauhid dan keadilan (Imam Ja'far Ash Shadiq)
Adapun tauhid ialah jangan membolehkan sesuatu pada Tuhan yang engkau sendiri tidak boleh
melakukannya, sedangkan keadilan ialah jangan menisbahkan sesuatu kepada penciptamu yang engkau
sendiri dikecam karenanya. (Bihar Al-Anwar, V:17)


"Apa maksud Kiai?," aku tidak paham.

"Pakailah sesukamu."

"Emang untuk apa?"

"Misalnya untuk membenturkan kepalamu...."

"Sinting!"

"Membenturkan kepala ke tembok adalah tahap awal
pembelajaran yang terbaik untuk cara berpikir yang
kau
tempuh."

Ia membawaku duduk kembali.

"Atau kamu saja yang jadi Tuhan, dan kamu atur nasib
terbaik untuk manusia menurut pertimbanganmu?," ia
pegang bagian atas bajuku.

"Kamu tahu Muhammad?", ia meneruskan, "Tahu?
Muhammad
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa alihi wasallah,
tahu? Ia manusia mutiara yang memilih hidup sebagai
orang jelata. Tidak pernah makan kenyang lebih
dari tiga hari, karena sesudah hari kedua ia tak
punya
makanan lagi.
Ia menjahit bajunya sendiri dan menambal sandalnya
sendiri. Panjang rumahnya 4,80 m, lebar 4,62 m. Ia
manusia yang paling dicintai Tuhan dan paling
mencintai Tuhan, tetapi oleh Tuhan orang kampung
Thaif
diizinkan melemparinya dengan batu yang membuat
jidatnya berdarah. Ia bahkan dibiarkan oleh Tuhan
sakit sangat panas badan oleh racun Zaenab
wanita Yahudi. Cucunya yang pertama diizinkan Tuhan
mati diracun istrinya sendiri. Dan cucunya yang
kedua
dibiarkan oleh Tuhan dipenggal kepalanya kemudian
kepala itu diseret dengan kuda sejauh
ratusan kilometer sehingga ada dua kuburannya.
Muhammad dijamin surganya, tetapi ia selalu takut
kepada Tuhan sehingga menangis di setiap sujudnya.
Sedangkan kalian yang pekerjaannya mencuri,
kelakuannya penuh kerendahan budaya, yang politik
kalian busuk, perhatian kalian kepada Tuhan
setengah-setengah, menginginkan nasib lebih enak
dibanding Muhammad? Dan kalau kalian ditimpa
bencana,
Tuhan
yang kalian salahkan?"

Tangan Sudrun mendorong badan saya keras-keras
sehingga saya jatuh ke belakang.

"Kiai," kata saya agak pelan, "Aku ingin
mempertahankan keyakinan bahwa icon utama eksistensi
Tuhan adalah sifat Rahman dan Rahim...."

"Sangat benar demikian," jawabnya, "Apa yang
membuatmu
tidak yakin?"

"Ya Aceh itu, Kiai, Aceh.... Untuk Aceh-lah aku
bersedia Kiai ludahi."

"Aku tidak meludahimu. Yang terjadi bukan aku
meludahimu. Yang terjadi
adalah bahwa kamu pantas diludahi."

"Terserah Kiai, asal Rahman Rahim itu...."

"Rahman cinta meluas, Rahim cinta mendalam. Rahman
cinta sosial, Rahim
cinta lubuk hati. Kenapa?"

"Aceh, Kiai, Aceh."

"Rahman menjilat Aceh dari lautan, Rahim mengisap
Aceh
dari bawah bumi. Manusia yang mulia dan paling
beruntung adalah yang segera dipisahkan oleh Tuhan
dari dunia. Ribuan malaikat mengangkut mereka
langsung ke surga dengan rumah-rumah cahaya yang
telah
tersedia.
Kepada saudara- saudara mereka yang ditinggalkan,
porak poranda kampung dan kota mereka adalah medan
pendadaran total bagi kebesaran kepribadian manusia
Aceh, karena sesudah ini Tuhan menolong mereka
untuk bangkit dan menemukan kembali kependekaran
mereka. Kejadian tersebut dibikin sedahsyat itu
sehingga mengatasi segala tema Aceh
Indonesia yang menyengsarakan mereka selama ini.
Rakyat Aceh dan Indonesia kini terbebas dari
blok-blok
psikologis yang memenjarakan mereka selama ini,
karena
air mata dan duka mereka menyatu, sehingga
akan lahir keputusan dan perubahan sejarah yang
melapangkan kedua pihak".

"Tetapi terlalu mengerikan, Kiai, dan kesengsaraan
para korban sukar dibayangkan akan mampu
tertanggungkan."

"Dunia bukan tempat utama pementasan manusia. Kalau
bagimu orang yang tidak mati adalah selamat sehingga
yang mati kamu sebut tidak selamat, buang dulu Tuhan
dan akhirat dari konsep nilai hidupmu. Kalau bagimu
rumah tidak ambruk, harta tidak sirna, dan nyawa
tidak
melayang, itulah kebaikan; sementara yang sebaliknya
adalah keburukanâ?"
berhentilah memprotes Tuhan, karena toh Tuhan tak
berlaku di dalam skala berpikirmu, karena bagimu
kehidupan berhenti ketika kamu mati."

"Tetapi kenapa Tuhan mengambil hamba-hambaNya yang
tak
berdosa, sementara membiarkan para penjahat negara
dan
pencoleng masyarakat hidup nikmat sejahtera?"

"Mungkin Tuhan tidak puas kalau keberadaan para
pencoleng itu di neraka kelak tidak terlalu lama.
Jadi
dibiarkan dulu mereka memperbanyak dosa dan
kebodohannya. Bukankah cukup banyak tokoh negerimu
yang baik yang justru Tuhan bersegera mengambilnya,
sementara yang kamu doakan agar cepat mati karena
luar
biasa jahatnya kepada rakyatnya malah panjang
umurnya?"

"Gusti Gung Binathoro!," saya mengeluh, "Kami semua
dan saya sendiri, Kiai, tidaklah memiliki
kecanggihan
dan ketajaman berpikir setakaran dengan yang
disuguhkan oleh perilaku Tuhan."

"Kamu jangan tiba-tiba seperti tidak pernah tahu
bagaimana pola perilaku Tuhan. Kalau hati manusia
berpenyakit, dan ia membiarkan terus penyakit itu
sehingga politiknya memuakkan, ekonominya nggraras
dan kebudayaannya penuh penghinaan atas martabat
diri
manusia sendiri-maka Tuhan justru menambahi penyakit
itu, sambil menunggu mereka dengan bencana yang
sejati
yang jauh lebih dahsyat. Yang di Aceh bukan bencana
pada pandangan Tuhan. Itu adalah pemuliaan bagi
mereka
yang nyawanya diambil malaikat, serta pencerahan dan
pembangkitan bagi yang masih dibiarkan hidup."

"Bagi kami yang awam, semua itu tetap tampak sebagai
ketidakadilan...."

"Alangkah dungunya kamu!" Sudrun embentak,
"Sedangkan
ayam menjadi riang hatinya dan bersyukur jika ia
disembelih untuk kenikmatan manusia meski ayam tidak
memiliki kesadaran untuk mengetahui, ia sedang riang
dan bersyukur."

"Jadi, para koruptor dan penindas rakyat tetap aman
sejahtera hidupnya?"

"Sampai siang ini, ya. Sebenarnya Tuhan masih sayang
kepada mereka sehingga selama satu dua bulan
terakhir
ini diberi peringatan berturut-turut, baik berupa
bencana alam, teknologi dan manusia, dengan
frekuensi
jauh lebih tinggi dibanding bulan-bulan sebelumnya.
Tetapi, karena itu semua tidak menjadi pelajaran,
mungkin itu menjadikan Tuhan mengambil keputusan
untuk
memberi peringatan dalam bentuk lebih dahsyat. Kalau
kedahsyatan Aceh belum mengguncangkan jiwa
Jakarta untuk mulai belajar menundukkan muka, ada
kemungkinan...."

"Jangan pula gunung akan meletus, Kiai!" aku
memotong,
karena ngeri membayangkan lanjutan kalimat Sudrun.

"Bilang sendiri sana sama gunung!" ujar Sudrun
sambil
berdiri dan ngeloyor meninggalkan saya.

"Kiai!" aku meloncat mendekatinya, "Tolong katakan
kepada Tuhan agar beristirahat sebentar dari
menakdirkan bencana-bencana alam...."

"Kenapa kau sebut bencana alam? Kalau yang kau
salahkan adalah Tuhan, kenapa tak kau pakai istilah
bencana Tuhan?"

Sudrun benar-benar tak bisa kutahan. Lari
menghilang.

Emha Ainun Nadjib Budayawan