Tuesday, November 15, 2005

Persenjataan Rafid


Sepulang dari mudik liburan ke Bandung, saya mendapat "persenjataan" baru dan bahan2 pangan siap olah. Persenjataan itu diantaranya kompor listrik, talenan, wajan teflon dan beberapa tupperware. Dengan ini, saya bisa membuat masakan apa saja (walau nggak bisa masak :P ) Saya juga membawa berbagai bahan makanan seperti bawang merah dan putih, merica, garam, gula dan pecel yang saya sambar dari dapur. Tadinya bapak sempat protes karena saya membawa terlalu banyak barang. Menurutnya, mending beli di jakarta saja.
Namun daripada ribet, akhirnya saya bawa juga berbagai peralatan dari Bandung. Ditambah dengan baju lebaran, serta baju2 tersetrika siap pakai, saya pun siap ke Jakarta lagi bersama Ikrar.

Mengenai baju lebaran, sebenarnya saya tidak begitu ingin membeli baju baru. Sebab selain baju lama masih banyak, semakin banyak baju berarti kamar semakin penuh. Namun ibu kepingin membelikannya. Seperti biasa, ibuku bilang sama penjaganya, "Ada baju yang model untuk anak seusia gini?" Biasanya penjaganya berwajah biasa-biasa saja dan menunjuk ke arah tertentu, namun saya tahu dari matanya dia ketawa cekikikan. Biarpun sudah jenggotan dan dipanggil "Pak" oleh orang2 di kantor, bagi mereka saya tetap saja anak kecil. Sebenarnya saya sendiri tidak merasa sudah dewasa juga sih.

Sekarang, saya bisa melakukan apa saja. Bisa menanak nasi, merebus, menjerang air, membuat sup (walau belum pernah nyoba), menggoreng, meracik bumbu dll. Dan ternyata yang paling rajin memasak di kostan itu saya. Adapun bahan makanan yang saya pakai selalu berjumlah kecil, sebab tidak ada kulkas untuk menyimpan sayuran, nugget dan semacamnya. Untunglah teman sekostan saya Pak Denny jago masak dan bisa mengajari saya berbagai hal. Peralatan dia memang lebih mutakhir. Kompor saya konsumsi dayanya 600 watt, sedang kompor Pak Denny konsumsi dayanya 1600 watt, sehingga bisa memanas dengan sangat cepat, seperti kompor minyak saja!! Namun saya masih merasa kompor saya lebih unggul, karena harga kompor saya 1/5 dari harga kompornya Pak Denny. Wajan teflon Beliau juga lebih bagus dan lengkung, sehingga ideal buat bikin nasi goreng. Begitu pula sutilnya.

Kalau kami memasak rame-rame, biasanya kita saling berbagi tugas dan saling meminjamkan barang. Rasanya seperti piknik. Itulah enaknya tinggal di kamar di atas. Kami sering bertemu dan bertegur sapa, karena kamar mandinya terpisah dan diluar. Kalau memasak pun leluasa, tidak khawatir asapnya mengganggu orang. Menjemur pun enak, lebih cepat kering, kecuali kalau waktu hujan. Saya hanya bisa pasrah di kantor sementara saya tidak tahu, jemuran saya ada yang ngangkatin apa nggak. Kadang-kadang suka diangkatin sama teman di kostan.

Walau tinggal di kostan rasanya seperti di surga (waduh!!) namun sedih juga ninggalin orang tua di bandung. Nggak ada yang mijatin Bapak lagi dengan alat pemijat listrik. Ibu saya bilang, karena saya nggak ada, di rumah banyak makanan yang terbuang percuma karena tidak termakan.

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home